Buku Pramuka Boyman

Kedai Atribut Pramuka Scout Addict Kediri menyediakan buku materi Pramuka Boyman 1 dan Boyman 2.

Tenda Dome Arei Outdoor

Kedai Pramuka Scout Addict menyediakan berbagai Tenda Dome Arei Outdoor kapasitas 2 dan 4 orang.

Aneka Produk Loreng Pramuka

Kedai Pramuka Scout Addict menyediakan berbagai macam produk berbahan kain Loreng Pramuka. Produk kami antara lain : Jaket, Celana, Rompi, Topi, dll.

Aneka Produk Logam Cor

Produk atribut perlengkapan Pramuka berkualitas dari Kedai Pramuka ScoutAddict Kediri

Pelayani Pemesanan Pin, Gantungan Kunci, ID Card

Kedai Pramuka Scout Addict juga melayani pemesanan pin, gantungan kunci, Id Card, dll untuk kegiatan maupun souvenir.

Dokumentasi Pengiriman

Dokumentasi dari pesanan yang pernah kami kirimkan. Kami pernah mengirim pesanan dari Aceh sampai Papua.

Tampilkan postingan dengan label Artikel Pramuka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Pramuka. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Agustus 2013

Jangan Memaksakan Pramuka

Tulisan ini bukan untuk mengkritik atau menggurui, apalagi menghalang-halangi pihak-pihak yang akan merealisasikan gagasan-gagasan tentang Gerakan Pramuka. Tulisan ini adalah pandangan yang disusun sesuai dengan pemahaman saya tentang Gerakan Pramuka dan berbagai telaah pustaka yang telah saya lakukan.

Beberapa media cetak lokal di Soloraya, Kamis (15/8), mewartakan Bupati Sragen Agus Fatchur Rahman mencanangkan progam wajib Pramuka bagi pelajar dan pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Sragen. Program wajib Pramuka itu dicanangkan saat upacara peringatan HUT ke-52 Gerakan Pramuka, Rabu (14/8). Berita itu cukup mengusik dan menggelitik hati dan pikiran saya.
Kebijakan tersebut diambil karena menurut Agus Fatchur Rahman generasi muda kini mulai kehilangan karakter kebangsaan, karakter keindonesiaan. Pendidikan Kepramukaan diharapkan menjadi salah satu alat rekayasa masa depan untuk membangun generasi muda yang berkarakter kuat. Bupati Sragen menginstruksikan semua PNS dan pejabat di lingkungan Pemkab Sragen terlibat aktif dalam Gerakan Pramuka.

Keterlibatan aktif itu antara lain dengan mengenakan seragam Pramuka setiap Kamis dan mengikuti kegiatan perkemahan Pramuka pada waktu tertentu. Selain itu, pejabat (baca: kepala satuan kerja perangkat daeran atau SKPD) juga diwajibkan menjadi bapak angkat dari gugus depan (gudep) sekolah. Hal yang sama juga telah dilakukan Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya beberapa tahun lalu yang mencanangkan Kabupaten Sukoharjo sebagai kabupaten Pramuka. Seluruh PNS di Kabupaten Sukoharjo diinstruksikan untuk berseragam Pramuka setiap tanggal 14 (non-Dinas Pendidikan) dan setiap hari Jumat (Dinas Pendidikan).

Saat ini, Gerakan Pramuka masih menjadi gerakan yang masif (meluas). Gerakan Pramuka masih melekat di banyak sekolah. Peserta didik juga diwajibkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, khususnya peserta didik kelas III, IV, dan V SD/MI, kelas VII SMP/MTs, dan kelas X SMA/SMK/MA. Atau, minimal seluruh peserta didik berseragam Pramuka pada Jumat dan/atau Sabtu. Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah memasukkan Pendidikan Kepramukaan dalam Kurikulum 2013. Setiap peserta didik diwajibkan mengikuti kegiatan Pramuka.

Sekedar kilas balik, di awal Orde Baru Pendidikan Kepramukaan dititipkan di sekolah karena dikhawatirkan akan disusupi paham komunis. Cara itu juga untuk memudahkan menghimpun peserta didik dan pengadaan tenaga pembina dari para guru. Ini kemudian memunculkan istilah ”Pramuka wajib” bahkan tidak sedikit pengajar atau guru yang menyebut ”pelajaran Pramuka”.

Padahal Baden Powell dengan tegas menjelaskan Pendidikan Kepramukaan bukanlah suatu ilmu yang harus dipelajari dengan tekun atau kumpulan ajaran-ajaran dan naskah-naskah dari suatu buku. Pendidikan Kepramukaan adalah suatu metode untuk mendidik generasi muda yang interaktif dan progresif dengan kegiatan yang menyenangkan, menarik, menantang, terencana, terarah,  dan berkesinambungan di alam terbuka.

Gerakan Pramuka bukanlah tujuan. Gerakan Pramuka adalah alat yang bertujuan untuk membina dan membentuk manusia Indonesia yang mandiri, berkarakter kuat, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki rasa nasionalisme dan cinta Indonesia, tanah tumpah darah, yang tinggi.

Mewajibkan Pramuka bagi pelajar dan PNS ada sisi baiknya. Bagi pelajar akan memperoleh keterampilan dan kecakapan hidup seperti kemandirian, kepemimpinan, dan nilai-nilai budi pekerti luhur yang akan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan bagi PNS nilai-nilai positif seperti disiplin, gotong royong, kejujuran, dan lain sebagainya dapat diaplikasikan dalam menjalankan profesi mereka.

Ketika seseorang berseragam Pramuka dalam dirinya melekat kode kehormatan Tri Satya dan Dasa Dharma yang sangat sarat makna dan wajib diamalkan. Seseorang yang berprofesi sebagai PNS, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, tentu tidak hanya mengayomi dan melayani masyarakat, tetapi juga memberikan teladan kepada masyarakat. PNS yang berseragam Pramuka dapat menjadi salah satu solusi krisis keteladanan yang melanda bangsa ini.

Kesukarelaan
Namun, kebijakan PNS wajib berseragam Pramuka juga bisa menjadi bumerang. Ketika PNS tidak menjalankan tugas dengan benar seperti terlambat masuk kerja maka ia tidak hanya melanggar kode etik PNS, tetapi ia juga bisa melanggar UU No. 12/2010 tentang Gerakan Pramuka yang multitafsir jika dijadikan ”alat mengkriminalisasi” pejabat publik (kepala daerah) maupun penjabat strutrual (PNS). ”Alat mengkriminalisasi” tersebut pada Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) yaitu Kode Kehormatan Pramuka yang dikenal dengan Tri Satya dan Dasa Dharma yang wajib diamalkan oleh setiap anggota Pramuka.

Saya masih ingat ketika Walikota Padang Fauzi Bahar yang berang melihat ketidakdisplinan PNS di lingkungan Pemerintahan Kota Padang saat inspeksi mendadak pada hari pertama masuk kerja setelah libur Idul Fitri 2012. Walikota Padang itu mendapati 39 perempuan PNS dan 20 laki-laki PNS yang terlambat atau tidak mengenakan seragam lengkap sebagaimana ketentuan setiap hari Kamis yaitu mengenakan seragam Pramuka lengkap dengan setangan leher/pita leher dan memakai pin “Saya Anti Sogok”.

Sebagai ganjaran atas ketidakdisplinan tersebut, para PNS di lingkungan Pemerintah Kota Padang dihukum atau dibesi sanksi fisik berupa baris-berbaris untuk perempuan dan baris-berbaris serta push up untuk laki-laki pria. Pemberian hukuman atau sanksi fisik tersebut juga diperlihatkan dan diekspose oleh media massa pada Kamis, 23 Agustus 2012.

Contoh lain, ada 291 kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) yang terjerat kasus korupsi dalam kurun 2004-Februari 2013. Padahal kepala daerah selaku ex officio Ketua Majelis Pembimbing Kwartir adalah ”Pramuka istimewa” yang menjadi ikon keteladanan masyarakat di wilayahnya. Jadi, pasal-pasal dalam UU Gerakan Pramuka juga dapat ditambahkan dalam tuntutan pidana untuk mereka.

Dukungan kepala daerah dalam Gerakan Pramuka sebaiknya bukan memformalkan Gerakan Pramuka. Dukungan itu sebagiknya berupa kebijakan meningkatkan kualitas proses pembinaan dengan mendorong untuk lebih menggiatkan kegiatan-kegiatan Pramuka di wilayah, baik di tingkat kwartir, kwartir di bawahnya, dan di tingkat gugus depan. Kepala daerah di setiap tingkatan adalah ex officio Ketua Majelis Pembimbing Kwartir di setiap tingkatan, semua instruksi dan/atau perintahnya tentu akan dilaksanakan oleh bawahannya.

Kegiatan-kegiatan yang harus didorong untuk lebih digiatkan antara lain Kursus Mahir Pembina Dasar/Lanjut; Kursus Pelatih Dasar/Lanjut; dan kegiatan-kegiatan besar seperti jambore/raimuna, perlombaan, dan lain sebagainya di tingkat kwartirnya maupun kwartir di bawahnya yang telah digariskan secara terstruktur dan sistematis oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Tentu itu bisa ditambah kegiatan-kegiatan yang disesuaikan dengan keadaan dan kearifan lokal daerah.

Tetapi yang harus segera didorong untuk lebih digiatkan adalah penyelenggaaan perkemahan gladian pemimpin regu (dian pinru) di tingkat gugus depan. Di tingkat gugus depanlah peserta didik berada. Selain itu, perkemahan dian pinru hampir tidak pernah diselenggarakan di tingkat gugus depan. Untuk itu, diperlukan jumlah pembina Pramuka yang memadai dan berkualitas untuk menyelenggarakan perkemahan dian pinru tersebut.

Untuk mendorong dan menggiatkan Gerakan Pramuka di tingkat gugus depan, yang harus dilakukan oleh kepala daerah selaku ex officio Ketua Majelis Pembimbing Kwartir adalah menyelenggarakan kursus orientasi kepramukaan yang wajib diikuti (tidak boleh diwakilkan) oleh para kepala sekolah selaku ex officio Ketua Majelis Pembimbing Gugus Depan (Kamabigus). Hampir semua gugus depan berpangkalan di sekolah. Kepala sekolah diharapkan mampu lebih menggiatkan kegiatan-kegiatan Pramuka di gugus depannya.

Selain kepala sekolah, kursus orientasi ini juga harus diikuti oleh kepala desa/lurah, camat, kepala dinas (kepala satuan kerda perangkat daerah), atau kepala unit pelaksana teknis, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Kursus ini bertujuan membangun kesadaran dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan Pramuka sebagai wadah pendidikan nonformal yang paling sesuai dan paling selaras dengan sistem pendidikan nasional. Kesadaran dan kepedulian itu harus tulus dan ikhlas.

Kegiatan-kegiatan lain yang harus diselenggarakan adalah Kursus Mahir Pembina Dasar/Lanjut, Kursus Pelatih Dasar/Lanjut, dan lain sebagainya secara rutin dengan biaya yang terjangkau anggota Pramuka yang berniat mengikutinya. Dengan demikian, kekurangan Pembina Pramuka yang berkualitas dapat teratasi dan kualitas proses Pendidikan Kepramukaan juga meningkat.

Diakui atau tidak, Gerakan Pramuka atau Pendidikan Kepramukaan adalah satu-satunya mitra pemerintah dalam mengajarkan nilai-nilai positif seperti disiplin, gotong royong, kejujuran, dan lain sebagainya serta menanamkan rasa nasionalisme dan cinta Tanah Air kepada anggotanya secara terstruktur dan sistematis. Namun, prinsip dasar dalam Gerakan Pramuka yaitu sukarela tetap harus dijunjung tinggi. ”Wajib Pramuka” bagi pelajar dan PNS perlu ditinjau kembali.

Sumber : http://www.solopos.com/2013/08/21/gagasan-jangan-memaksakan-pramuka-439751

Rabu, 14 Agustus 2013

Pramuka Tak Ter-Reformasi

Hari Pramuka atau HUT Pramuka-kah hari ini?
Konon, 52 tahun usianya
Jika saya harus melakukan kontemplasi untuk hari ini, maka yang langsung terlintas di ingatan saya adalah disebutnya kata “Pramuka” dalam yell-yell atau syair parodi Mars ABRI yang saya dengar dari kelompok mahasiswa demonstran di tahun 94-95-an:

Syair parodi berisi ejekan itu menyebut: “…… diganti Menwa, ya sama saja.. lebih baik diganti Pramukaaaa!!”

Di masa itu, pikiran sederhana yang mendengarnya akan serta merta menempatkan Pramuka “sejenis” dengan Menwa dan ABRI.

Pikiran lain yang lebih njlimet akan terusik dengan ditempatkannya Pramuka di level ketiga (entah terendah, tertinggi, terbaik, terpolos atau ter- lainnya) setelah ABRI dan Menwa.

Pikiran iseng akan bertanya: tersinggungkah Pramuka dimasukkan ke dalam yell-yell atau nyanyian bernada mengejek itu?

Saya terpaksa harus kembali jauh ke seperempat abad yang lalu, saat  tekhnologi komunikasi belum secanggih sekarang. Publik jarang mengetahui ada prestasi-prestasi hebat lain yang bisa diraih seorang siswa/pelajar selain menjadi rangking 1 atau juara umum saja. Prestasi akademik seolah menjadi gelar tertinggi yang lazim  bagi kalangan pelajar SMP_SMA saat itu. Masa itu, pramuka sudah identik dengan perbaikan karakter dan moral. Publik akan mahfum saat seorang pelajar dengan prestasi akademik yang baik juga sesekali mengenakan seragam pramuka yang lengkap dengan selempang dipenuhi tanda-tanda kecakapan khusus.

“Pantas saja dia berprestasi di Pramuka, karena dia anak pintar dan baik.” atau sebaliknya: “Pantas saja dia rangking terus dan baik anaknya, di Pramuka-nya juga berprestasi sih..” Pramuka, anak yang pintar, rajin dan baik. Singkatnya, di jaman saya SMP itu; Pramuka itu keren.

Bagi saya pribadi, Pramuka lebih dari itu. Sanggar Pramuka dan seluruh penghuninya adalah keluarga dan rumah ke-2 saya. Saat bel pulang sekolah berbunyi, opsi untuk pulang adalah ke rumah, atau ke sanggar pramuka.

Saya harus bilang karena tidak canggihnya teknologi informasi, maka interaksi antara kami, anak-anak pramuka penggalang, waktu itu, dengan kakak-kakak pembina kami, bagaikan seorang mursyid dengan murid-muridnya. Kakak pembina pramuka adalah kakak yang hebat dan kami banggakan, tempat kami bertanya dan curhat, sekaligus tempat kami mencari referensi. Bahkan untuk berbagai hal di luar kegiatan pramuka; termasuk soal pelajaran di sekolah. Mengapa begitu; karena semua yang baik, disiplin dan terpuji sajalah yang terlihat pada kakak-kakak pembina kami.

Kembali ke tahun 94-95 saat saya mendengar yell-yell atau lagu parodi yang saya sebut di awal tadi, Pramuka disebut disitu, menurut saya, adalah pengakuan masih “baik dan keren”-nya Pramuka, atau masih “masuk-akalnya” dibanding dua organisasi militan yang disebut sebelumnya. Tapi benarkah pramuka itu militan?

Baris-berbaris seperti tentara, iya. Bahkan ada pelatihan fisik bak tentara sesungguhnya di satuan-satuan karya tertentu. Patuh pada pimpinan? tentu saja, karena menurut Dasa Dharma pramuka itu patuh dan suka bermusyawarah. Fokus pada misi dan tujuan? Nah… mungkin di “wilayah” itu muncul anomali-anomali.

Mari kita kembali ke tahun sekarang; ketika segala sistem yang melibatkan pendidikan, kemasyarakatan dan organisasi kemasyarakatan ber-reformasi. Terjadi perubahan tatanan atau perbaikan konsep (menjadi lebih baik). Jika boleh saya menyebut ini adalah dampak kemajuan teknologi komunikasi; kelompok masyarakat terpelajar jadi tahu dan mengerti lebih banyak tentang kekurangan dalam sistem lama, dan menuntut perbaikan atas nama perkembangan zaman. Apa yang terjadi dengan Pramuka?

Terima kasih pada–lagi-lagi–teknologi informasi, kita yang bukan siapa-siapa dalam suatu organisasi jadi boleh dan bisa tahu banyak tentang apa yang terjadi di dalam sebuah organisasi. Dulu, 25 tahun yang lalu, sebagai pemimpin regu “Flamboyan”, segala tentang Pramuka adalah apa yang diperkenalkan oleh kakak pembina saya. Kini, sebagai ibu, seperti ibu-ibu lainnya yang juga menggauli alat komunikasi, saya bisa mencari tahu apa yang terjadi dengan organisasi yang dulu saya banggakan tetapi kini oleh anak-anak saya disebut “organisasi lebay.” Tentu saja tidak semua pramuka lebay dan tidak semua anak berpendapat seperti anak saya, meski saya bisa menjamin bukan hanya anak saya yang berpendapat demikian; tetapi mengapa sampai ada pendapat seperti itu?
Saya tidak akan mengulas kehebatan pramuka. Saya yakin dan percaya pramuka hebat. Saya di sini hanya akan membicarakan anomali-nya.

Keterampilan tali temali, baris berbaris, permainan mencari jejak dan sandi-sandi tidak lagi menarik bagi anak-anak/remaja pelajar masa kini?  tidak juga. Mereka bermain game komputer mencari jejak dan memecahkan sandi, mereka juga menyukai parade atau terlibat di dalamnya, dan senang membuat sesuatu dari benda-benda; termasuk jika itu melibatkan tali. Lalu apa yang salah dengan pramuka? mengapa anak-anak saya menyebutnya organisasi lebay dengan kakak-kakak pembina yang “kampungan”?

Jawabannya adalah: karena Pramuka tidak ikut melakukan reformasi seperti organisasi kemasyarakatan atau lembaga pendidikan lainnya. Dan ini bukan tentang kecendekiaan atau modernisasi.

Pelajar yang dalam pramuka disebut Peserta Didik, kini memiliki keleluasaan akses untuk menilai dan mempertimbangkan apa dan bagaimana Pramuka dari “luar”-mereka melakukan “window shopping”; melihat dan menilik. Tak terbantahkan betapa konsep pendidikan dalam Pramuka memang tepat untuk menciptakan karakter pemuda yang mencintai alam, yang bersikap ksatria, menjadi patuh aturan dan suka bermusyawarah, senang menolong dan giat bergotong royong, yang menjunjung tinggi disiplin dan kehormatan korps. Masalahnya adalah Pramuka tidak mampu memastikan semua “jendela”-nya bersih dan “menarik” bagi para window shopper ini.

Reformasi di negri ini terjadi ketika wakil rakyat sudah dianggap tidak layak mewakili, sudah tidak representatif; ketika rakyat malu hati memiliki wakil yang tidak sesuai dengan jati diri kita, rakyat Indonesia. Pramuka, yang kukuh pada jalan yang lurus melupakan reformasi ini. Tidak ada upaya “membersihkan jendela.” Kakak-kakak pramuka hebat yang kini memegang otoritas tertinggi organisasi terbesar di Indonesia ini melupakan adanya perbaikan dan pembersihan. Mereka lupa bahwa adik-adik peserta didik jaman sekarang memiliki lebih banyak akses dan pilihan.

Secara hirarkis tugas seorang pramuka berprestasi tentu saja berpindah ke tempat yang lebih tinggi. Sistem among yang menjadi urat nadi kegiatan menjadi keniscayaan ketika seorang kakak pembina pramuka tidak lagi bersentuhan dengan peserta didiknya. Kerusakan lebih parah terjadi ketika; saking besarnya organisasi ini, sistem among ini berganti jadi sistem birokrasi; apalagi kemudian para pemegang tampuk kepimpinannya diserahkan pada birokrat. Tentu saja anggaran dan pendanaan lalu lalang di dalamnya. Lengkap sudah lapisan debu dan kaca “film” (gelap) yang menutupi jendela-jendela pramuka. Alih-alih mempercantik kualitas “jendela” (kualitas dan kredibilitas para pembinanya) atau menambah kekuatan sistem among sebagai sistem pendidikan yang dianutnya, anggaran atau pendanaan ini malah jadi api dalam sekam. Beberapa tatanan dan etika organisasi yang seperempat abad yang lalu menempatkan kakak pramuka saya sebagai “guru” dan panutan; luruh. Ruh kepanduan yang menguatkan pribadi setiap anggotanya dan membuat pramuka dianggap “keren” oleh lingkungannya,  kini menguap entah kemana.

Contoh kecil saja: pembina pramuka yang berpangkalan di sekolah dan masih “tak tahu malu” merokok di ruang publik, dalam kegiatan pramuka dan di depan peserta-peserta didiknya! __ adakah sangsi untuk mereka? Tidak. Jika kemudian dia tersadar, beranikah dia mengatur pelarangan merokok untuk pramuka dewasa dan pembina? Tidak bisa! Jika… kakak Ketua kwartirnya, yang adalah atasannya dalam struktur perintahan/hirarki kepegawaian-nya juga merokok. Misalnya!

Contoh lainnya: seorang pimpinan dalam pramuka memutuskan untuk menyelenggarakan acara nyanyi-nyanyi pada kegiatan buka bersama di bulan Ramadhan sebagai “upaya” membuat kegiatan pramuka lebih “hip” atau keren? Bukankah itu pemikiran yang blunder?

Pramuka yang menganut sistem among; tetapi kemudian “membiarkan” ada pembinanya yang merokok, memalsukan data prestasi anak demi kelengkapan administrasi atau nama baik dalam suatu kompetisi kepramukaan, berbuat nepotisme atau bahkan korupsi. Absurd, bukan? mending mana: disebut “lebay” atau “absurd”??

Rumah ke-2 saya seperempat abad yang lalu kini tak lebih dari “kantor” bagi sebagian yang menggantungkan hidup dari dana abadi pramuka, dan “kantor yang birokrasinya ribet” bagi sebagian yang lain. Tapi apakah setidaknya menjadi kantor publik, sebagaimana tujuan dan misi Gerakan Pramuka untuk bangsa ini? Atau seorang pegawai pramuka itu setidak-tidaknya seorang pramuka juga, bukan?

Keribetan birokrasi itu dimulai ditingkat organisator di atas para kakak pembina; masing-masing memikirkan kelanjutan karir atau pekerjaan mereka dalam kantor besar Gerakan Pramuka. Mereka yang sejati dengan idealisme kepanduannya harus bersinggungan dengan mereka yang sudah kadung berjaya dan tidak ingin kehilangan pekerjaannya di kantor tersebut meskipun mereka “jadul” dan tidak well up-dated misalnya… sementara adik-adik peserta didiknya jauh lebih cerdas, lebih kritis dan lebih pandai mengaktualisasikan diri.

Dengan semua ketidak sinkron-an tersebut, lalu siapa yang memastikan kakak-kakak pembina pramuka sebagai “jendela” organisasi tetap menjadi pribadi dan sosok yang representatif di mata adik-adik peserta didiknya? Jawaban yang saya terima adalah: “Ya, kakak seniornya masing-masing, lah…lagipula kalau kakak pembinanya adalah PNS Guru di pangkalan tersebut, mana mungkin “kami” bisa minta dia mundur hanya karena dianggap tidak becus!”

Ah, baiklah… ketidak berdayaan dalam persinggungan otoritas rupanya? lalu bagaimana pramuka menjawab tantangan pemerintah yang gemas dengan “konsep pendidikan untuk pembentukan karakter” yang akan “ditimpakan” pada organisasi yang secara global diakui memiliki sistem pembentuk karakter terbaik ini? (Konon Pramuka akan diwajibkan dilaksanakan di semua sekolah formal pada 2014 nanti) Bagaimana pramuka di usia ke-52-nya ini membersihkan “jendela2-nya” yang kotor sehingga calon peserta didiknya tidak menyebutnya sebagai organisasi lebay dan kampungan?

Jadi betulkah pendidikan dan pembentukan karakter dengan sistem among itu TELAH berjalan mulus hingga usianya yg ke-52 ini? Apakah spanduk puluhan meter yang dipamerkan sebagai perayaan itu bisa menghapus kotor dan bureknya “jendela” PRAMUKA  di mata para calon peserta didiknya?
Kakak pembina saya dulu bernama Kak Hadis, beliau pernah berkata: “Sekali Pramuka; Pramuka sepanjang hayat! Apapun seragam yang dikenakannya!”

Maka, hari ini, saya yang merasa tak pernah meninggalkan pramuka, rumah ke-2 saya dulu, ingin mengajak pramuka-pramuka yang masih berseragam dan yang sudah tidak mengenakan seragam untuk melakukan REFORMASI: membersihkan jendela! dan mengembalikan sistem among ke dalam organisasi luar biasa ini.

Negri ini sudah ber-reformasi, meski kemudian ada yang menyebutnya gagal; namun setidaknya reformasi telah dilakukan dan bisa dilakukan kembali. Pramuka?

Dirgahayu pramuka! Jadilah pandu bangsa seperti dalam lagumu, karena pramuka bukan menwa atau tentara, terlebih lagi; pramuka (seharusnya) bukan birokrat.

SALAM PRAMUKA!!

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/08/14/pramuka-tak-ter-reformasi-584123.html