Sejarah dan proses Lahirnya Pancasila
Jepang
memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini
diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh
karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang
memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu
janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan
(Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan
Madura)
Dalam
maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini
adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya
dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi
kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan
badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang
pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini
yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia
merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara,
dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang
masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka.
Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang
terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan
ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni
1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang
terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Selesai
sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat
untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung
usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang
pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara
tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun
anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta
Pada
tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil,
dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang
dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil
Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin
Panitia
Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga
melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar,
yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam
sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah
merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9
Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada
tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan
sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia,
yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17
Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan
sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan
preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk
pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum
mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada
tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi
Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya,
rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat
preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak
maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari
negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta
disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota
tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid
Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh
Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh
karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan,
mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu
merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang
Maha Esa”.
Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa
dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PERJALANAN
Namun
dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai sejarah yang
panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam
perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan
salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini
dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan
berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan
pencetus istilah Pancasila.
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang
telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan
yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut
turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta,
Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945
(Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang
berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Muh. Yamin
Pada
sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni
1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai
bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik
Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin
menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam
pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat
menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan
tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan
rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara
lisan, yaitu:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Ir. Soekarno
Selain
Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara,
diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945
yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Usul
Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon
dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno
pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara
harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli
bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu
rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Rumusan Pancasila
1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan
blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI
pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara
2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai
panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul
anggota BPUPKI yang telah masuk.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut
mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal.
Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda
(kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk
menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam
menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara
golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan
Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama
sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di
antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam
sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta
(Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar
negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan
kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“…
dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif
pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta
dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI
sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat
terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan
[A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar,
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;] serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada
sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945,
dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas
kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945.
Dokumen
“Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas
menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence
(berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan
Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun).
Rumusan
yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya
sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan
kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar
negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang
dikenal oleh masyarakat luas.
Rumusan kalimat
“…
dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: PPKI
Menyerahnya
Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia
(lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI
Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore
hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun
(Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A.
A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara.
Untuk
menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera
menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula,
wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan
itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui
penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi
keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul
penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam
rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar”
dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan
dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan
dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya
dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat
“…
dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan
wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesia
semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia
yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk
negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian
saja.
Walaupun
UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI
Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal
(Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari
RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah
(pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember
1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung
dalam RIS.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh):
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera
setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya
dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung
dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada
Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI
Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang
intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST,
menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan
Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan
tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37)
yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini
terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD
Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan
Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD
Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan
negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu,
Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah
satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI
pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD
Sementara.
Dengan
pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat
dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga
tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun
1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila
sebagai Dasar Negara, dan
2.Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat
“…
dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan IX: Versi Berbeda
Selain
mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan
yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial.
Rumusan X: Versi Populer
Rumusan
terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima
secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah
yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan
sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan
rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa
“serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan
ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Catatan Kaki
1.^
Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai calon dasar negara
namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh. Hatta, Drs.
dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak panjang. Hatta
berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan Supomo yang kelak
menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara Integralistik.
2.^
Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan pulau-pulau
sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku.
3.^ Negara Sumatra Timur, wilayahnya meliputi bagian timur provinsi Sumut (sekarang)
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).
Referensi
1.Undang Undang Dasar 1945
2.Konstitusi RIS (1949)
3.UUD Sementara (1950)
4.Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
5.Syafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
6.Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka
7.http://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila#Rumusan_I:_Muh._Yamin.2C_Mr
Sumber : http://majelispancasila.blogspot.com/p/sejarah-dan-proses-lahirnya-pancasila_08.html