Hari Pramuka atau HUT Pramuka-kah hari ini?
Konon, 52 tahun usianya
Jika saya harus melakukan kontemplasi untuk
hari ini, maka yang langsung terlintas di ingatan saya adalah
disebutnya kata “Pramuka” dalam yell-yell atau syair parodi Mars ABRI
yang saya dengar dari kelompok mahasiswa demonstran di tahun 94-95-an:
Syair parodi berisi ejekan itu menyebut: “…… diganti Menwa, ya sama saja.. lebih baik diganti Pramukaaaa!!”
Di masa itu, pikiran sederhana yang mendengarnya akan serta merta menempatkan Pramuka “sejenis” dengan Menwa dan ABRI.
Pikiran lain yang lebih njlimet akan
terusik dengan ditempatkannya Pramuka di level ketiga (entah terendah,
tertinggi, terbaik, terpolos atau ter- lainnya) setelah ABRI dan Menwa.
Pikiran iseng akan bertanya: tersinggungkah Pramuka dimasukkan ke dalam yell-yell atau nyanyian bernada mengejek itu?
Saya terpaksa harus kembali jauh ke
seperempat abad yang lalu, saat tekhnologi komunikasi belum secanggih
sekarang. Publik jarang mengetahui ada prestasi-prestasi hebat lain yang
bisa diraih seorang siswa/pelajar selain menjadi rangking 1 atau juara
umum saja. Prestasi akademik seolah menjadi gelar tertinggi yang lazim
bagi kalangan pelajar SMP_SMA saat itu. Masa itu, pramuka sudah identik
dengan perbaikan karakter dan moral. Publik akan mahfum saat seorang
pelajar dengan prestasi akademik yang baik juga sesekali mengenakan
seragam pramuka yang lengkap dengan selempang dipenuhi tanda-tanda
kecakapan khusus.
“Pantas saja dia berprestasi di Pramuka,
karena dia anak pintar dan baik.” atau sebaliknya: “Pantas saja dia
rangking terus dan baik anaknya, di Pramuka-nya juga berprestasi sih..”
Pramuka, anak yang pintar, rajin dan baik. Singkatnya, di jaman saya SMP
itu; Pramuka itu keren.
Bagi saya pribadi, Pramuka lebih dari itu.
Sanggar Pramuka dan seluruh penghuninya adalah keluarga dan rumah ke-2
saya. Saat bel pulang sekolah berbunyi, opsi untuk pulang adalah ke
rumah, atau ke sanggar pramuka.
Saya harus bilang karena tidak canggihnya
teknologi informasi, maka interaksi antara kami, anak-anak pramuka
penggalang, waktu itu, dengan kakak-kakak pembina kami, bagaikan seorang
mursyid dengan murid-muridnya. Kakak pembina pramuka adalah kakak yang
hebat dan kami banggakan, tempat kami bertanya dan curhat, sekaligus
tempat kami mencari referensi. Bahkan untuk berbagai hal di luar
kegiatan pramuka; termasuk soal pelajaran di sekolah. Mengapa begitu;
karena semua yang baik, disiplin dan terpuji sajalah yang terlihat pada
kakak-kakak pembina kami.
Kembali ke tahun 94-95 saat saya mendengar
yell-yell atau lagu parodi yang saya sebut di awal tadi, Pramuka disebut
disitu, menurut saya, adalah pengakuan masih “baik dan keren”-nya
Pramuka, atau masih “masuk-akalnya” dibanding dua organisasi militan
yang disebut sebelumnya. Tapi benarkah pramuka itu militan?
Baris-berbaris seperti tentara, iya. Bahkan
ada pelatihan fisik bak tentara sesungguhnya di satuan-satuan karya
tertentu. Patuh pada pimpinan? tentu saja, karena menurut Dasa Dharma
pramuka itu patuh dan suka bermusyawarah. Fokus pada misi dan tujuan?
Nah… mungkin di “wilayah” itu muncul anomali-anomali.
Mari kita kembali ke tahun sekarang; ketika
segala sistem yang melibatkan pendidikan, kemasyarakatan dan organisasi
kemasyarakatan ber-reformasi. Terjadi perubahan tatanan atau perbaikan
konsep (menjadi lebih baik). Jika boleh saya menyebut ini adalah dampak
kemajuan teknologi komunikasi; kelompok masyarakat terpelajar jadi tahu
dan mengerti lebih banyak tentang kekurangan dalam sistem lama, dan
menuntut perbaikan atas nama perkembangan zaman. Apa yang terjadi dengan
Pramuka?
Terima kasih pada–lagi-lagi–teknologi
informasi, kita yang bukan siapa-siapa dalam suatu organisasi jadi boleh
dan bisa tahu banyak tentang apa yang terjadi di dalam sebuah
organisasi. Dulu, 25 tahun yang lalu, sebagai pemimpin regu “Flamboyan”,
segala tentang Pramuka adalah apa yang diperkenalkan oleh kakak pembina
saya. Kini, sebagai ibu, seperti ibu-ibu lainnya yang juga menggauli
alat komunikasi, saya bisa mencari tahu apa yang terjadi dengan
organisasi yang dulu saya banggakan tetapi kini oleh anak-anak saya
disebut “organisasi lebay.” Tentu saja tidak semua pramuka
lebay dan tidak semua anak berpendapat seperti anak saya, meski saya
bisa menjamin bukan hanya anak saya yang berpendapat demikian; tetapi
mengapa sampai ada pendapat seperti itu?
Saya tidak akan mengulas kehebatan pramuka.
Saya yakin dan percaya pramuka hebat. Saya di sini hanya akan
membicarakan anomali-nya.
Keterampilan tali temali, baris berbaris,
permainan mencari jejak dan sandi-sandi tidak lagi menarik bagi
anak-anak/remaja pelajar masa kini? tidak juga. Mereka bermain game
komputer mencari jejak dan memecahkan sandi, mereka juga menyukai parade
atau terlibat di dalamnya, dan senang membuat sesuatu dari benda-benda;
termasuk jika itu melibatkan tali. Lalu apa yang salah dengan pramuka?
mengapa anak-anak saya menyebutnya organisasi lebay dengan kakak-kakak
pembina yang “kampungan”?
Jawabannya adalah: karena Pramuka tidak
ikut melakukan reformasi seperti organisasi kemasyarakatan atau lembaga
pendidikan lainnya. Dan ini bukan tentang kecendekiaan atau modernisasi.
Pelajar yang dalam pramuka disebut Peserta
Didik, kini memiliki keleluasaan akses untuk menilai dan
mempertimbangkan apa dan bagaimana Pramuka dari “luar”-mereka melakukan
“window shopping”; melihat dan menilik. Tak terbantahkan betapa konsep
pendidikan dalam Pramuka memang tepat untuk menciptakan karakter pemuda
yang mencintai alam, yang bersikap ksatria, menjadi patuh aturan dan
suka bermusyawarah, senang menolong dan giat bergotong royong, yang
menjunjung tinggi disiplin dan kehormatan korps. Masalahnya adalah
Pramuka tidak mampu memastikan semua “jendela”-nya bersih dan “menarik”
bagi para window shopper ini.
Reformasi di negri ini terjadi ketika wakil
rakyat sudah dianggap tidak layak mewakili, sudah tidak representatif;
ketika rakyat malu hati memiliki wakil yang tidak sesuai dengan jati
diri kita, rakyat Indonesia. Pramuka, yang kukuh pada jalan yang lurus
melupakan reformasi ini. Tidak ada upaya “membersihkan jendela.”
Kakak-kakak pramuka hebat yang kini memegang otoritas tertinggi
organisasi terbesar di Indonesia ini melupakan adanya perbaikan dan
pembersihan. Mereka lupa bahwa adik-adik peserta didik jaman sekarang
memiliki lebih banyak akses dan pilihan.
Secara hirarkis tugas seorang pramuka
berprestasi tentu saja berpindah ke tempat yang lebih tinggi. Sistem
among yang menjadi urat nadi kegiatan menjadi keniscayaan ketika seorang
kakak pembina pramuka tidak lagi bersentuhan dengan peserta didiknya.
Kerusakan lebih parah terjadi ketika; saking besarnya organisasi ini,
sistem among ini berganti jadi sistem birokrasi; apalagi kemudian para
pemegang tampuk kepimpinannya diserahkan pada birokrat. Tentu saja
anggaran dan pendanaan lalu lalang di dalamnya. Lengkap sudah lapisan
debu dan kaca “film” (gelap) yang menutupi jendela-jendela pramuka.
Alih-alih mempercantik kualitas “jendela” (kualitas dan kredibilitas
para pembinanya) atau menambah kekuatan sistem among sebagai sistem
pendidikan yang dianutnya, anggaran atau pendanaan ini malah jadi api
dalam sekam. Beberapa tatanan dan etika organisasi yang seperempat abad
yang lalu menempatkan kakak pramuka saya sebagai “guru” dan panutan;
luruh. Ruh kepanduan yang menguatkan pribadi setiap anggotanya dan
membuat pramuka dianggap “keren” oleh lingkungannya, kini menguap entah
kemana.
Contoh kecil saja: pembina pramuka yang
berpangkalan di sekolah dan masih “tak tahu malu” merokok di ruang
publik, dalam kegiatan pramuka dan di depan peserta-peserta didiknya! __
adakah sangsi untuk mereka? Tidak. Jika kemudian dia tersadar,
beranikah dia mengatur pelarangan merokok untuk pramuka dewasa dan
pembina? Tidak bisa! Jika… kakak Ketua kwartirnya, yang adalah atasannya
dalam struktur perintahan/hirarki kepegawaian-nya juga merokok.
Misalnya!
Contoh lainnya: seorang pimpinan dalam
pramuka memutuskan untuk menyelenggarakan acara nyanyi-nyanyi pada
kegiatan buka bersama di bulan Ramadhan sebagai “upaya” membuat kegiatan
pramuka lebih “hip” atau keren? Bukankah itu pemikiran yang blunder?
Pramuka yang menganut sistem among; tetapi
kemudian “membiarkan” ada pembinanya yang merokok, memalsukan data
prestasi anak demi kelengkapan administrasi atau nama baik dalam suatu
kompetisi kepramukaan, berbuat nepotisme atau bahkan korupsi. Absurd,
bukan? mending mana: disebut “lebay” atau “absurd”??
Rumah ke-2 saya seperempat abad yang lalu
kini tak lebih dari “kantor” bagi sebagian yang menggantungkan hidup
dari dana abadi pramuka, dan “kantor yang birokrasinya ribet” bagi
sebagian yang lain. Tapi apakah setidaknya menjadi kantor publik,
sebagaimana tujuan dan misi Gerakan Pramuka untuk bangsa ini? Atau
seorang pegawai pramuka itu setidak-tidaknya seorang pramuka juga,
bukan?
Keribetan birokrasi itu dimulai ditingkat
organisator di atas para kakak pembina; masing-masing memikirkan
kelanjutan karir atau pekerjaan mereka dalam kantor besar Gerakan
Pramuka. Mereka yang sejati dengan idealisme kepanduannya harus
bersinggungan dengan mereka yang sudah kadung berjaya dan tidak ingin
kehilangan pekerjaannya di kantor tersebut meskipun mereka “jadul” dan
tidak well up-dated misalnya… sementara adik-adik peserta didiknya jauh lebih cerdas, lebih kritis dan lebih pandai mengaktualisasikan diri.
Dengan semua ketidak sinkron-an tersebut,
lalu siapa yang memastikan kakak-kakak pembina pramuka sebagai “jendela”
organisasi tetap menjadi pribadi dan sosok yang representatif di mata
adik-adik peserta didiknya? Jawaban yang saya terima adalah: “Ya, kakak
seniornya masing-masing, lah…lagipula kalau kakak pembinanya
adalah PNS Guru di pangkalan tersebut, mana mungkin “kami” bisa minta
dia mundur hanya karena dianggap tidak becus!”
Ah, baiklah… ketidak berdayaan dalam
persinggungan otoritas rupanya? lalu bagaimana pramuka menjawab
tantangan pemerintah yang gemas dengan “konsep pendidikan untuk
pembentukan karakter” yang akan “ditimpakan” pada organisasi yang secara
global diakui memiliki sistem pembentuk karakter terbaik ini? (Konon
Pramuka akan diwajibkan dilaksanakan di semua sekolah formal pada 2014
nanti) Bagaimana pramuka di usia ke-52-nya ini membersihkan
“jendela2-nya” yang kotor sehingga calon peserta didiknya tidak
menyebutnya sebagai organisasi lebay dan kampungan?
Jadi betulkah pendidikan dan pembentukan
karakter dengan sistem among itu TELAH berjalan mulus hingga usianya yg
ke-52 ini? Apakah spanduk puluhan meter yang dipamerkan sebagai perayaan
itu bisa menghapus kotor dan bureknya “jendela” PRAMUKA di mata para
calon peserta didiknya?
Kakak pembina saya dulu bernama Kak Hadis,
beliau pernah berkata: “Sekali Pramuka; Pramuka sepanjang hayat! Apapun
seragam yang dikenakannya!”
Maka, hari ini, saya yang merasa tak pernah
meninggalkan pramuka, rumah ke-2 saya dulu, ingin mengajak
pramuka-pramuka yang masih berseragam dan yang sudah tidak mengenakan
seragam untuk melakukan REFORMASI: membersihkan jendela! dan
mengembalikan sistem among ke dalam organisasi luar biasa ini.
Negri ini sudah ber-reformasi, meski
kemudian ada yang menyebutnya gagal; namun setidaknya reformasi telah
dilakukan dan bisa dilakukan kembali. Pramuka?
Dirgahayu pramuka! Jadilah pandu bangsa
seperti dalam lagumu, karena pramuka bukan menwa atau tentara, terlebih
lagi; pramuka (seharusnya) bukan birokrat.
SALAM PRAMUKA!!
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2013/08/14/pramuka-tak-ter-reformasi-584123.html