Tulisan ini bukan untuk mengkritik atau menggurui, apalagi
menghalang-halangi pihak-pihak yang akan merealisasikan gagasan-gagasan
tentang Gerakan Pramuka. Tulisan ini adalah pandangan yang disusun
sesuai dengan pemahaman saya tentang Gerakan Pramuka dan berbagai telaah
pustaka yang telah saya lakukan.
Beberapa media cetak lokal di Soloraya, Kamis (15/8), mewartakan
Bupati Sragen Agus Fatchur Rahman mencanangkan progam wajib Pramuka bagi
pelajar dan pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Sragen. Program
wajib Pramuka itu dicanangkan saat upacara peringatan HUT ke-52 Gerakan
Pramuka, Rabu (14/8). Berita itu cukup mengusik dan menggelitik hati dan
pikiran saya.
Kebijakan tersebut diambil karena menurut Agus Fatchur Rahman
generasi muda kini mulai kehilangan karakter kebangsaan, karakter
keindonesiaan. Pendidikan Kepramukaan diharapkan menjadi salah satu alat
rekayasa masa depan untuk membangun generasi muda yang berkarakter
kuat. Bupati Sragen menginstruksikan semua PNS dan pejabat di lingkungan
Pemkab Sragen terlibat aktif dalam Gerakan Pramuka.
Keterlibatan aktif itu antara lain dengan mengenakan seragam Pramuka
setiap Kamis dan mengikuti kegiatan perkemahan Pramuka pada waktu
tertentu. Selain itu, pejabat (baca: kepala satuan kerja perangkat
daeran atau SKPD) juga diwajibkan menjadi bapak angkat dari gugus depan
(gudep) sekolah. Hal yang sama juga telah dilakukan Bupati Sukoharjo
Wardoyo Wijaya beberapa tahun lalu yang mencanangkan Kabupaten Sukoharjo
sebagai kabupaten Pramuka. Seluruh PNS di Kabupaten Sukoharjo
diinstruksikan untuk berseragam Pramuka setiap tanggal 14 (non-Dinas
Pendidikan) dan setiap hari Jumat (Dinas Pendidikan).
Saat ini, Gerakan Pramuka masih menjadi gerakan yang masif (meluas).
Gerakan Pramuka masih melekat di banyak sekolah. Peserta didik juga
diwajibkan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, khususnya peserta
didik kelas III, IV, dan V SD/MI, kelas VII SMP/MTs, dan kelas X
SMA/SMK/MA. Atau, minimal seluruh peserta didik berseragam Pramuka pada
Jumat dan/atau Sabtu. Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) telah memasukkan Pendidikan Kepramukaan dalam Kurikulum
2013. Setiap peserta didik diwajibkan mengikuti kegiatan Pramuka.
Sekedar kilas balik, di awal Orde Baru Pendidikan Kepramukaan
dititipkan di sekolah karena dikhawatirkan akan disusupi paham komunis.
Cara itu juga untuk memudahkan menghimpun peserta didik dan pengadaan
tenaga pembina dari para guru. Ini kemudian memunculkan istilah ”Pramuka
wajib” bahkan tidak sedikit pengajar atau guru yang menyebut ”pelajaran
Pramuka”.
Padahal Baden Powell dengan tegas menjelaskan Pendidikan Kepramukaan
bukanlah suatu ilmu yang harus dipelajari dengan tekun atau kumpulan
ajaran-ajaran dan naskah-naskah dari suatu buku. Pendidikan Kepramukaan
adalah suatu metode untuk mendidik generasi muda yang interaktif dan
progresif dengan kegiatan yang menyenangkan, menarik, menantang,
terencana, terarah, dan berkesinambungan di alam terbuka.
Gerakan Pramuka bukanlah tujuan. Gerakan Pramuka adalah alat yang
bertujuan untuk membina dan membentuk manusia Indonesia yang mandiri,
berkarakter kuat, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
memiliki rasa nasionalisme dan cinta Indonesia, tanah tumpah darah,
yang tinggi.
Mewajibkan Pramuka bagi pelajar dan PNS ada sisi baiknya. Bagi
pelajar akan memperoleh keterampilan dan kecakapan hidup seperti
kemandirian, kepemimpinan, dan nilai-nilai budi pekerti luhur yang akan
berguna dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan bagi PNS nilai-nilai
positif seperti disiplin, gotong royong, kejujuran, dan lain sebagainya
dapat diaplikasikan dalam menjalankan profesi mereka.
Ketika seseorang berseragam Pramuka dalam dirinya melekat kode
kehormatan Tri Satya dan Dasa Dharma yang sangat sarat makna dan wajib
diamalkan. Seseorang yang berprofesi sebagai PNS, sebagai abdi negara
dan abdi masyarakat, tentu tidak hanya mengayomi dan melayani
masyarakat, tetapi juga memberikan teladan kepada masyarakat. PNS yang
berseragam Pramuka dapat menjadi salah satu solusi krisis keteladanan
yang melanda bangsa ini.
Kesukarelaan
Namun, kebijakan PNS wajib berseragam Pramuka juga bisa menjadi
bumerang. Ketika PNS tidak menjalankan tugas dengan benar seperti
terlambat masuk kerja maka ia tidak hanya melanggar kode etik PNS,
tetapi ia juga bisa melanggar UU No. 12/2010 tentang Gerakan Pramuka
yang multitafsir jika dijadikan ”alat mengkriminalisasi” pejabat publik
(kepala daerah) maupun penjabat strutrual (PNS). ”Alat
mengkriminalisasi” tersebut pada Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) yaitu
Kode Kehormatan Pramuka yang dikenal dengan Tri Satya dan Dasa Dharma
yang wajib diamalkan oleh setiap anggota Pramuka.
Saya masih ingat ketika Walikota Padang Fauzi Bahar yang berang
melihat ketidakdisplinan PNS di lingkungan Pemerintahan Kota Padang saat
inspeksi mendadak pada hari pertama masuk kerja setelah libur Idul
Fitri 2012. Walikota Padang itu mendapati 39 perempuan PNS dan 20
laki-laki PNS yang terlambat atau tidak mengenakan seragam lengkap
sebagaimana ketentuan setiap hari Kamis yaitu mengenakan seragam Pramuka
lengkap dengan setangan leher/pita leher dan memakai pin “Saya Anti
Sogok”.
Sebagai ganjaran atas ketidakdisplinan tersebut, para PNS di
lingkungan Pemerintah Kota Padang dihukum atau dibesi sanksi fisik
berupa baris-berbaris untuk perempuan dan baris-berbaris serta push up
untuk laki-laki pria. Pemberian hukuman atau sanksi fisik tersebut juga
diperlihatkan dan diekspose oleh media massa pada Kamis, 23 Agustus
2012.
Contoh lain, ada 291 kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) yang
terjerat kasus korupsi dalam kurun 2004-Februari 2013. Padahal kepala
daerah selaku ex officio Ketua Majelis Pembimbing Kwartir adalah
”Pramuka istimewa” yang menjadi ikon keteladanan masyarakat di
wilayahnya. Jadi, pasal-pasal dalam UU Gerakan Pramuka juga dapat
ditambahkan dalam tuntutan pidana untuk mereka.
Dukungan kepala daerah dalam Gerakan Pramuka sebaiknya bukan
memformalkan Gerakan Pramuka. Dukungan itu sebagiknya berupa kebijakan
meningkatkan kualitas proses pembinaan dengan mendorong untuk lebih
menggiatkan kegiatan-kegiatan Pramuka di wilayah, baik di tingkat
kwartir, kwartir di bawahnya, dan di tingkat gugus depan. Kepala daerah
di setiap tingkatan adalah ex officio Ketua Majelis Pembimbing
Kwartir di setiap tingkatan, semua instruksi dan/atau perintahnya tentu
akan dilaksanakan oleh bawahannya.
Kegiatan-kegiatan yang harus didorong untuk lebih digiatkan antara
lain Kursus Mahir Pembina Dasar/Lanjut; Kursus Pelatih Dasar/Lanjut; dan
kegiatan-kegiatan besar seperti jambore/raimuna, perlombaan, dan lain
sebagainya di tingkat kwartirnya maupun kwartir di bawahnya yang telah
digariskan secara terstruktur dan sistematis oleh Kwartir Nasional
Gerakan Pramuka. Tentu itu bisa ditambah kegiatan-kegiatan yang
disesuaikan dengan keadaan dan kearifan lokal daerah.
Tetapi yang harus segera didorong untuk lebih digiatkan adalah
penyelenggaaan perkemahan gladian pemimpin regu (dian pinru) di tingkat
gugus depan. Di tingkat gugus depanlah peserta didik berada. Selain itu,
perkemahan dian pinru hampir tidak pernah diselenggarakan di tingkat
gugus depan. Untuk itu, diperlukan jumlah pembina Pramuka yang memadai
dan berkualitas untuk menyelenggarakan perkemahan dian pinru tersebut.
Untuk mendorong dan menggiatkan Gerakan Pramuka di tingkat gugus depan, yang harus dilakukan oleh kepala daerah selaku ex officio
Ketua Majelis Pembimbing Kwartir adalah menyelenggarakan kursus
orientasi kepramukaan yang wajib diikuti (tidak boleh diwakilkan) oleh
para kepala sekolah selaku ex officio Ketua Majelis Pembimbing
Gugus Depan (Kamabigus). Hampir semua gugus depan berpangkalan di
sekolah. Kepala sekolah diharapkan mampu lebih menggiatkan
kegiatan-kegiatan Pramuka di gugus depannya.
Selain kepala sekolah, kursus orientasi ini juga harus diikuti oleh
kepala desa/lurah, camat, kepala dinas (kepala satuan kerda perangkat
daerah), atau kepala unit pelaksana teknis, dan tokoh-tokoh masyarakat
lainnya. Kursus ini bertujuan membangun kesadaran dan melibatkan
masyarakat dalam kegiatan Pramuka sebagai wadah pendidikan nonformal
yang paling sesuai dan paling selaras dengan sistem pendidikan nasional.
Kesadaran dan kepedulian itu harus tulus dan ikhlas.
Kegiatan-kegiatan lain yang harus diselenggarakan adalah Kursus Mahir
Pembina Dasar/Lanjut, Kursus Pelatih Dasar/Lanjut, dan lain sebagainya
secara rutin dengan biaya yang terjangkau anggota Pramuka yang berniat
mengikutinya. Dengan demikian, kekurangan Pembina Pramuka yang
berkualitas dapat teratasi dan kualitas proses Pendidikan Kepramukaan
juga meningkat.
Diakui atau tidak, Gerakan Pramuka atau Pendidikan Kepramukaan adalah
satu-satunya mitra pemerintah dalam mengajarkan nilai-nilai positif
seperti disiplin, gotong royong, kejujuran, dan lain sebagainya serta
menanamkan rasa nasionalisme dan cinta Tanah Air kepada anggotanya
secara terstruktur dan sistematis. Namun, prinsip dasar dalam Gerakan
Pramuka yaitu sukarela tetap harus dijunjung tinggi. ”Wajib Pramuka”
bagi pelajar dan PNS perlu ditinjau kembali.
Sumber : http://www.solopos.com/2013/08/21/gagasan-jangan-memaksakan-pramuka-439751